
Jakarta – Deputi Sistem dan Tata Kelola Badan Gizi Nasional (BGN) Tigor Pangaribuan mengatakan pihaknya sedang menggodok skema jaminan asuransi untuk penerima manfaat program Makan Bergizi Gratis yang menjadi korban keracunan.
“Kami sedang memikirkan penerima manfaat, tentu asuransinya harus kami buat sebagai bagian dari biaya operasional. Itu yang sekarang kami pikirkan,” kata Tigor di Menteng, Jakarta, Sabtu, 10 Mei 2024.
Tigor mengatakan opsi asuransi itu masih dikaji, sebab BGN kata dia, asuransinya harus dibuat sebagai bagian dari biaya operasional. “Nah ini operasionalnya juga kami harus hitung dengan cermat,” ujar dia.
Namun, sebelum memberikan asuransi kepada korban, BGN akan lebih dulu mengevaluasi penyebab pasti keracunan. Evaluasi dilakukan dengan membawa sampel makanan yang diduga menjadi sumber keracunan untuk diuji di laboratorium.
“Dicek apakah benar ini terjadi karena makanan. Kan dia ada sampel makanan di kulkas yang dimasak. Itu disimpan biasanya,” ujar dia.
Bila hasil laboratorium menunjukkan tidak ditemukan unsur racun dari makanan, BGN akan mencari sumbernya. Meski begitu, Tigor mengklaim, korban keracunan akan tetap dibiayai pengobatannya.
“Jangan-jangan itu makanan ada yang tersimpan atau dibawa murid itu pulang dan dimakan di rumah yang sudah tersimpan. Nah, bahkan kalau terjadi begitu, BGN tetap membantu untuk membiayai pengobatannya,” jelas dia.
Sementara untuk pekerja, Tigor menjelaskan bahwa pegawai BGN telah memiliki perlindungan melalui BPJS, sedangkan pekerja di SPPG sedang diupayakan untuk juga mendapatkan perlindungan BPJS tanpa mengurangi gaji mereka.
Terkait dengan risiko operasional seperti kebakaran atau kecelakaan di dapur penyelenggara MBG, Tigor mengatakan bahwa pihaknya juga mempertimbangkan asuransi yang dapat menanggung kerugian yang mungkin timbul dari insiden tersebut.
“Misalnya, dapur yang kurang pas atau ada kebakaran yang terjadi, itu harus ada asuransinya. Nah, ini sekarang sedang kami godok juga, kami kaji apakah dia menjadi bagian dari biaya operasional,” ucap Tigor.
BGN kini tengah menjalin koordinasi dengan sejumlah pihak untuk mematangkan rencana asuransi yang sedang digodok. Lembaga yang dilibatkan meliputi BPJS Ketenagakerjaan (TK) hingga Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Kepala BGN, Dadan Hindayana menyebut koordinasi dengan OJK menjadi penting karena rencana pemberian asuransi ini akan melibatkan dua asosiasi perusahaan asuransi agar skema asuransi berjalan sesuai regulasi dan bisa menjangkau pihak-pihak yang dituju.
“Untuk penerima manfaat, kami masih melakukan koordinasi dengan OJK yang akan melibatkan dua asosiasi, yaitu Asosiasi Asuransi Jiwa dan Asosiasi Asuransi Umum,” kata Dadan dilansir Kompas.com, Selasa (13/5).
Dadan mengatakan, hasil dari koordinasi dan kesepakatannya akan membentuk konsorsium atau gabungan perusahaan asuransi. Konsorsium ini akan bertanggung jawab atas pengelolaan asuransi MBG.
“Konsorsium akan menetapkan layanan asuransi yang sesuai dalam bentuk konsorsium,” lanjut dia.
Sementara, untuk pemberian asuransi untuk karyawan SPPG akan bekerja sama dengan BPJS TK. Dadan mengatakan, saat ini karyawan SPPG berjumlah 52.346 secara keseluruhan.
“Untuk karyawan, kami telah bekerja sama dengan BPJS TK dengan jumlah karyawan SPPG 52.346. (akan diberikan) kepada semuanya,” pungkas dia.
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK, Ogi Prastomiyono, mengungkapkan program MBG akan didukung perlindungan asuransi. Sebab, risiko dari kejadian-kejadian seperti keracunan hingga masalah dalam distribusi makanan.
“Beberapa risiko yang mungkin bisa disupport oleh asuransi yaitu pertama risiko keracunan bagi para penerima MBG, anak sekolah, balita, ibu hamil, menyusui,” kata Ogi dalam konferensi pers RDK OJK, Jumat (9/5).
Ia mengatakan OJK bersama asosiasi industri asuransi seperti Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) dan Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) tengah menyusun proposal awal yang akan menjadi dasar bagi keterlibatan industri dalam mendukung program MBG.
“Saat ini asosiasi industri dari AAJI maupun AAUI sedang menyusun proposal awal bagaimana industri asuransi dapat mendukung program pemerintah termasuk program untuk MBG, Makan Bergizi Gratis,” ujar Ogi.
Dalam pembahasan bersama asosiasi, OJK juga memperhitungkan nilai pertanggungan dan besaran dana yang akan diberlakukan. Tujuannya adalah agar dana yang dikenakan tetap terjangkau namun tetap mampu memberikan perlindungan atas risiko-risiko utama yang muncul dari program ini.
“Kami sedang berkoordinasi dengan asosiasi dan menyampaikan proposal untuk dukungan industri asuransi kepada program MBG dan tentunya nanti kita akan membicarakan masalah besarnya pertanggungan atau santunan yang diberikan dan premi yang harus dibayarkan,” jelas Ogi.
“Tapi kami ingin memastikan bahwa besarnya premi, karena ini menyeluruh, mungkin tidak terlalu besar sehingga bisa memenuhi harapan bagi risiko-risiko untuk keracunan makanan ataupun kecelakaan kerja,” tandas dia.
Direktur Kebijakan Publik Center for Economic and Law Studies (Celios), Media Wahyudi Iskandar, menilai program asuransi untuk MBG tidak efisien. Menurutnya, skema itu justru berpotensi memboroskan anggaran negara tanpa manfaat yang sepadan.
“Pemerintah sudah pasti buang-buang anggaran yang seharusnya kalau seandainya diberikan langsung ke semua penerima, penerima akan menerima manfaat jauh lebih banyak dari program dan rencana yang asuransi ini sangat-sangat tidak efisien,” jelas Wahyudi, Selasa (13/5).
Tak hanya itu, program asuransi MBG dinilai menambah pengeluaran negara karena tumpang tindih dengan program jaminan sosial yang sudah berjalan. Kebijakan tersebut kata dia, berimplikasi pada pemborosan anggaran, sebab alokasi dana menjadi tidak efisien.
“Yang pasti ini akan implikasinya pada pemborosan fiskal ya, karena terjadi penghamburan program perlindungan sosial yang sebetulnya alokasinya itu, idealnya itu diterima langsung oleh penerima manfaat,” beber dia.
“Tapi ada sebagian yang kemudian justru digeser kebutuhannya pada korporasi atau lembaga eksternal asuransi, yang kalau seandainya ditelisik lebih jauh, potensi moral hazard-nya itu tinggi sekali,” lanjut dia.
Ia justru menilai program asuransi MBG tidak lebih dari akal-akalan yang dirancang untuk menopang kepentingan industri asuransi. “Saya kira ini hanya akal-akalan saja dari pemerintah untuk menopang industri asuransi BUMN maupun swasta,” ucap Wahyudi.
Adanya asuransi MBG berpotensi membuat dana pemerintah disalurkan kepada pihak ketiga, yaitu industri asuransi. Padahal, menurutnya, sektor ini kini sedang lesu dan belum sepenuhnya pulih dari tekanan ekonomi.
“Ini membuka potensi dana negara disalurkan untuk pihak ketiga, khususnya untuk asuransi ya, yang saat ini tengah lesu karena penurunan daya beli dan konsumsi masyarakat,” tandas dia.
Wahyudi mengatakan, ini merupakan bentuk pemberian jaminan yang berulang karena pemerintah sebenarnya sudah memiliki program jaminan sosial bagi pekerja, yakni BPJS TK. Menurutnya, perlu ada evaluasi agar program yang ada tidak tumpang tindih dan justru membebani.
“Ini sudah pasti redundant dengan asuransi-asuransi pemerintah lainnya ya, seperti BPJS, hingga hari ini saya juga belum menemukan logikanya untuk semua penerima manfaat itu diasuransikan, termasuk juga SPPG,” ujar dia.
Terlebih, program asuransi MBG ini belum mencakup persoalan administrasi lainnya, seperti verifikasi dan pembayaran premi, yang memerlukan sumber daya yang cukup besar. “Ini belum termasuk persoalan administrasi lainnya ya, soal asuransi ini. Karena perlu proses administrasi yang jelas, mulai dari verifikasi, pembayaran premi, dan ini lagi-lagi membutuhkan sumber daya yang tidak sedikit,” tandas dia.
Anggota Komisi IX DPR Fraksi PAN, Ashabul Kahfi mengingatkan agar pemberian asuransi kepada penerima program MBG tidak mengalihkan perhatian dari pentingnya kualitas gizi makanan. Menurutnya, meski asuransi bisa diterima, BGN tetap harus memastikan bahwa kualitas dan kandungan gizi makanan yang diberikan tetap menjadi prioritas utama.
“Langkah kuratif seperti asuransi boleh saja menjadi pelengkap, tapi yang utama tetap harus pada aspek preventif. Kesehatan masyarakat harus dijaga sejak dari hulu, yakni memastikan kualitas makanan yang dikonsumsi benar-benar aman dan layak. Jangan sampai asuransi ini justru menjadi bentuk pembiaran terhadap potensi buruknya mutu makanan,” kata Kahfi.
Kahfi mendorong agar evaluasi kualitas makanan dilakukan secara berkala dengan melibatkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) secara langsung. pengawasan harus dilakukan dalam semua proses sebab makanan bantuan.
“Jaminan mutu makanan itu tidak bisa ditawar. Jangan sampai muncul persepsi bahwa selama ada asuransi, kualitas bisa dikompromikan. Skema perlindungan harus menyatu dengan sistem pengawasan yang ketat dan berkelanjutan,” imbuh dia.
Editor: (AUD)