
Makassar – Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sulawesi Selatan (Sulsel) mengungkapkan bahwa bencana alam berupa banjir dan longsor di Maros, Makassar dan Gowa meningkat enam kali lipat dalam 10 tahun terakhir. Bencana alam berulang itu terjadi lantaran berkurangnya luas tutupan hutan dan intensitas hujan lebat.
Hal itu diungkap oleh Kepala Departemen Riset dan Keterlibatan Publik WALHI Sulsel, Slamet Riadi dalam rilis persnya, Kamis, 13 Februari 2025. Berdasarkan data yang dihimpun, jumlah tutupan hutan pada tahun 2023 sekitar 1.359.039 Ha atau hanya tersisa 29,70 persen dari luas provinsi.
Luas tutupan hutan yang berada pada angka dibawah 30 persen itu menjadikan Sulsel sebagai Provinsi dengan kategori kritis.
“Berdasarkan kajian WALHI Sulsel, tingginya angka kehilangan tutupan hutan di wilayah ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, mulai dari izin pertambangan di wilayah hulu atau kawasan hutan, alih fungsi lahan, penebangan liar, dan pembangunan. Akibatnya Daerah Aliran Sungai (DAS) yang tersebar di berbagai wilayah Sulsel mengalami kritis. Tercatat dari 139 DAS yang ada di Sulsel hanya ada 38 DAS yang masuk kategori sehat karena memiliki tutupan hutan di atas 30 persen, sedangkan sisanya sebanyak 101 DAS atau 72,6 persen yang masuk kategori kritis,” tulis Slamet.
Tutupan hutan yang minim itu berakibat pada menurunnya daya dukung dan daya tampung lingkungannya. Akhirnya terjadi kerentanan ekologi yang semakin meningkat.
“Selain intensitas hujan dan air pasang yang membuat aliran air di sungai tidak langsung menuju lepas pantai. Secara hidrologi, hal ini berakibat pada meluapnya sungai-sungai di dua DAS, yakni Maros dan Tallo (Makassar),” kata Slamet.
Masalah lainnya adalah wilayah resapan air yang semakin terbatas dan kondisi drainase yang tidak terstandardisasi. Bahkan, hasil analisis WALHI Sulsel menunjukkan luas tutupan hutan di area DAS Maros mengalami penurunan sebesar 1.057.090 hektar.
Karena itu, WALHI Sulsel meminta pemerintah agar mengatensi hal itu dengan berkonsentrasi pada upaya pencegahan dan penanganan sebab-sebab bencana tersebut.
“Kerentanan yang semakin tinggi dan diperparah oleh krisis iklim, maka seharusnya pemerintah memikirkan ulang serta merumuskan konsep pencegahan dan penanganan yang tidak dibatasi oleh wilayah administratif, melainkan berbasis bentang alam. Artinya, tiap daerah sudah tidak lagi hanya bertanggungjawab di wilayahnya masing-masing, tapi melihat masalah itu secara holistik dan mengajak daerah lainnya untuk duduk bersama,” tutur dia.
Hal urgen lainnya, kata Slamet, pemerintah harus memonitoring, mengevaluasi dan menindak tegas para pelaku usaha yang merusak dan memperparah kondisi lingkungan di Sulsel.
“Aktivitas pertambangan dan pembangunan yang mengorbankan kondisi lingkungan sudah seharusnya ditangani secara tegas, jika tidak, maka bencana di Sulsel akan terus meningkat tiap tahunnya. Masalahnya, setiap kali terjadi bencana, semua masyarakat Sulsel menjadi korban,” tegas Slamet.
Editor: Agus Umar Dani