Kemendagri Tunda Pelantikan Kepala Daerah Tuai Sorotan, Pengamat Bilang Begini

Mendagri RI, Muhammad Tito Karnavian saat mengumumkan penundaan pelantikan kepala daerah hasil Pilkada Serentak 2024 (dok. Kemendagri)

Jakarta – Keputusan Kementerian Dalam Negeri mengundur jadwal pelantikan kepala daerah menuai sorotan. Penundaan itu dinilai berpotensi menimbulkan kekosongan kepemimpinan di daerah yang sedianya, jadwal pelantikan digelar pada 6 Februari 2025.

Melansir Tirto.id, Pengamat Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wasisto Raharjo Jati, menilai kekosongan kepemimpinan dapat diatasi dengan memperpanjang masa jabatan pejabat (Pj) kepala daerah. Perpanjangan itu bisa dilakukann hingga pengganti definitif dilantik.

“Saya pikir ini memang agak dilematis, karena seharusnya penyelenggara pemilu itu harus sesuai dengan jadwal yang ditetapkan disepakati sedari awal. Namun, pengunduran ini juga perlu dilihat pula penyelenggara pemilu berusaha untuk mematuhi azas ‘keserenatakan’ bahwa pilkada dan pelantikan harus serentak,” kata Wasisto, Sabtu, 1 Januari 2025.

Wasisto mengatakan, selama masa transisi, Pj kepala daerah sebaiknya diisi oleh Sekretaris Daerah (Sekda). Menurut dia, Sekda lebih siap dalam mempersiapkan aparatur pemerintahan untuk menopang kinerja dan program kepala daerah yang baru dilantik.

Wasisto mengapresiasi pelantikan serentak, tetapi ia mengingatkan agar model sentralisasi ini tidak melemahkan semangat otonomi daerah yang sudah dianut sejak 1999.

“Poin terakhir yang ingin saya tekankan adalah pelantikan serentak khususnya bupati/walikota yang tersentralisasi sebenarnya mengurangi esensi otonomi daerah. Idealnya cukup gubernur saja yang dilantik serentak oleh presiden karena posisinya sebagai wakil pusat di daerah,” tegas Wasisto.

Pengamat Politik lainnya, Kunto Adi Wibowo juga turut memberi komentar. Ia menilai pengunduran pelantikan kepala daerah masih sesuai hukum, namun ketidakjelasan jadwalnya berpotensi menimbulkan persoalan.

“Kalau pengundurannya menurut saya tidak masalah. Tapi kalau pengundurannya enggak jelas, digantung, dan terkatung-katung, ini yang akan menimbulkan banyak ketidakpastian dan justru akan menimbulkan banyak konflik dan akhirnya bisa berujung pada risiko yang besar, baik itu politik, ekonomi, sosial, dan keamanan,” ucap Kunto.

Kunto menjelaskan bahwa undang-undang mengatur pelantikan kepala daerah dilakukan serentak setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan perselisihan hasil pilkada, baik yang diterima maupun yang ditolak. Hal ini mengacu pada ketentuan yang tertuang dalam aturan yang berlaku.

“Jadi, kalau maunya bergelombang seperti rencana awal, itu justru bertentangan dengan putusan MK itu, ataupun yang termuat di UU Pilkada,” ujar dia.

Mestinya, kata dia, persoalan ini telah lebih dini diantisipasi oleh penyelenggara Pemilu dan Kemendagri. Selain karena keduanya bertanggungjawab atas urusan pemerintah daerah, juga memiliki pengalaman serupa di tahun-tahun sebelumnya.

Berbeda dengan Wasisto, Kunto menilai bahwa mengandalkan Pj seringkali menimbulkan ketidakpuasan masyarakat, terlebih karena mereka tidak dipilih langsung. Pj dianggap memegang wewenang yang seolah-olah diberikan tanpa proses demokratis.

“Seharusnya harus dievaluasi Pj ini lebih ketat. Apalagi jangan sampai ada kekosongan yang bisa diisi oleh Pj yang kita tahu, dampaknya tidak akan bagus terhadap pembangunan daerah,” ungkap dia.

Sebelumnya, Mendagri, Tito Karnavian, mengatakan pelantikan kepala daerah kemungkinan digelar pada 17 – 20 Februari 2025. Opsi itu disebut menyesuaikan hasil sidang sengketa pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024 yang masih berproses di MK.

Editor: Agus Umar Dani

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca juga: