
Jakarta – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia, merujuk arahan Presiden Prabowo, secara resmi mencabut empat izin tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, menyusul tekanan publik yang menyoroti dampak lingkungan akibat aktivitas perusahaan. Terlebih, pencabutan IUP dilakukan karena keempat perusahaan tersebut tak mengantongi Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) kepada pemerintah.
“2025, enggak ada lagi perusahaan itu yang berproduksi, enggak ada yang berproduksi, kenapa? RKAB-nya tidak ada,” kata Bahlil dalam konferensi pers di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa, 10 Juni 2025.
Keempat perusahaan itu diantaranya PT Kawei Sejahtera Mining, PT Mulia Raymond Perkasa, PT Anugerah Surya Pratama, dan PT Nurham. Seluruhnya beroperasi di wilayah Raja Ampat, Papua Barat Daya.
Bahlil mengklaim bahwa syarat mutlak bagi perusahaan tambang untuk bisa beroperasi adalah kepemilikan dokumen RKAB. Keempat perusahaan itu dinyatakan tidak lolos dari seluruh syarat administratif tersebut.
“RKAB-nya bisa jalan kalau ada dokumen Amdal-nya dan mereka tidak lolos dari semua syarat administrasi itu,” ujar dia.
Sementara itu, Kementerian ESDM sebelumnya mengklaim tidak menemukan masalah berarti pada pertambangan nikel di Kabupaten Raja Ampat.
Informasi itu disampaikan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM Tri Winarnousai bersama dengan Bahlil yang mengunjungi kawasan pertambangan di daerah tersebut.
“Kita lihat juga dari atas tadi bahwa sedimentasi di kawasan pesisir juga tidak ada. Jadi secara keseluruhan ini sebetulnya tambang ini gak ada masalah,” tutur Tri dalam keterangan resmi Sabtu (7/6) seperti dlansir CNN Indonesia.
Bupati Raja Ampat, Orideko Burdam menyatakan aktivitas penambangan di wilayahnya telah menimbulkan pencemaran lingkungan yang mengancam keberlanjutan ekosistem. Ia menilai kerusakan tersebut berdampak langsung terhadap sumber penghidupan masyarakat pesisir dan adat.
Orideko mengeluhkan terbatasnya kewenangan daerah dalam mengatasi persoalan tersebut, padahal 97 persen wilayah Raja Ampat merupakan kawasan konservasi. Ia menilai kondisi tersebut ironis karena pemerintah daerah justru tidak punya ruang gerak untuk melindungi lingkungannya sendiri.
“Sembilan puluh tujuh persen Raja Ampat merupakan daerah konservasi sehingga ketika terjadi persoalan pencemaran lingkungan oleh aktivitas tambang, kami tidak bisa berbuat apa-apa karena kewenangan kami terbatas,” kata Orideko di Sorong, Sabtu (31/5).
PT GAG Nikel, perusahaan yang beroperasi di Raja Ampat, Papua Barat Daya, diketahui mengantongi hak istimewa dari negara sejak 1998. Keistimewaan itu membedakan perusahaan ini dari lainnya dalam hal akses terhadap kawasan yang semestinya dibatasi.
Penambangan nikel dilakukan di kawasan hutan lindung yang jelas melanggar Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Meski begitu, PT GAG Nikel bersama 12 perusahaan lain tetap diberi pengecualian oleh negara melalui regulasi khusus.
Bahlil menyebut perusahaan itu mulanya dikuasai asing. Pemerintahan Orde Baru alias di akhir kepemimpinan Presiden ke-2 Soeharto yang memberikan kontrak karya untuk perusahaan tersebut.
Kontrak karya adalah perjanjian antara pemerintah dengan perusahaan berbadan hukum Indonesia untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan mineral. PT GAG mengantongi kontrak karya generasi VII No. B53/Pres/I/1998 yang terbit pada 19 Januari 1998 dan ditandatangani Soeharto.
“Kemudian pergi, diambil alih oleh negara. Negara diserahkan kepada PT Antam,” kata Bahlil dalam Konferensi Pers di Kementerian ESDM, Jakarta Pusat, Kamis (5/6).
Tepat setelah setahun kontrak karya dikantongi PT GAG, negara melarang penambangan di hutan lindung melalui UU Kehutanan. Akan tetapi, beleid itu direvisi pada era Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri.
Sebanyak 13 perusahaan pemilik kontrak karya di era Orde Baru mendapat pengembalian dari negara. Melalui UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2004 tentang Kehutanan, GAG dan 12 perusahaan lain dibawah kepemimpinan Megawati melanjutkan kontrak karya yang sudah dipegang.
Di sisi lain, struktur kepemilikan saham PT GAG awalnya terdiri dari Asia Pacific Nickel Pty. Ltd. (APN Pty. Ltd) sebesar 75 persen dan sebagiannya dipegang Antam.
Antam lalu mengakuisisi seluruh saham tersebut pada tahun 2008 sehingga kendali penuh PT GAG Nikel berada di tangan perusahaan pelat merah.
Sementara, izin usaha pertambangan (IUP) di Pulau Gag itu terbit pada tahun 2017 dan mulai beroperasi setahun kemudian, yakni pada periode pertama Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi). Analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) juga sudah dimiliki perusahaan tersebut.
“Saat izin usaha pertambangan dikeluarkan, saya masih Ketua Umum HIPMI Indonesia dan belum masuk di Kabinet (Kabinet Kerja 2014-2019),” ujar Bahlil.
Diberitakan sebelumnya, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) bersama Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) telah melakukan penyegelan terhadap empat tambang nikel yang beroperasi di wilayah Raja Ampat, Papua Barat. Langkah ini diambil sebagai tindak lanjut atas temuan pelanggaran yang berpotensi merusak lingkungan.
Empat perusahaan yang disegel antara lain PT Gag Nikel, PT Kawei Sejahtera Mining, PT Anugerah Surya Pratama, dan PT Mulia Raymond Perkasa. Meski seluruh perusahaan telah memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP), hanya tiga yang tercatat mengantongi Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH), yakni PT ASP, PT GN, dan PT KSM.
“PT ASP, perusahaan Penanaman Modal Asing asal Tiongkok melakukan aktivitas tambang di Pulau Manuran seluas kurang lebih 746 hektare,” ujar Menteri Lingkungan Hidup/Kepala BPLH, Hanif Faisol Nurofiq, dalam keterangannya, dlansir Antara, Sabtu 7 Juni 2025.
Editor: Agus Umar Dani