Suara Terpinggirkan Masyarakat Adat Papua Menggema di MIWF 2025 Makassar

Masyrakat adat Papua yang terlibat di MIWF 2025. (Agus Umar Dani/Portaltimur.id)

Makassar – Suara-suara masyarakat adat Papua bergema di Makassar International Writers Festival (MIWF) yang diselenggarakan di Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu, 31 Mei 2025. Aspirasi itu tersampaikan pada ajang MOP, tradisi guyonan khas Papua yang telah lama ada. Di panggung itu, mereka menyampaikan aspirasi mereka terkait perampasan lahan adat, hilangnya identitas budaya, dan nasib hutan adat yang terancam.

Diketahui, MOP merupakan wacana humor khas Papua yang menyindir sekaligus menertawakan kisah masyarakat Papua dari berbagai etnis, usia, status ekonomi, dan profesi. Jika orang Indonesia lebih akrab dengan istilah stand up comedy, MOP terbilang mirip dengan format lawak tersebut tapi dilakukan dengan logat dan aksen Papua.

Acara itu dipandu oleh juru kampanye Greenpeace Indonesia, Belgis Habiba yang mendampingi para pemuda adat Papua menyuarakan aspirasi mereka. Belgis memperkenalkan para pemuda adat yang tampil dalam acara tersebut, serta memastikan bahwa acara itu menjadi ruang bagi mereka untuk bercerita dan berbagi pengalaman secara langsung kepada publik.

Salah satu rekan Belgis, Rosy Yow yang juga seorang juru kampanye Greenpeace Indonesia, menjelaskan bahwa MOP merupakan tradisi lisan yang sudah lama berkembang di Papua.

“Jadi, sebenarnya MOP ini, banyak yang bilang bahwa sudah ada sejak zaman Belanda,” kata Rosy. 

Biasanya, kata dia, MOP disampaikan menggunakan bahasa Melayu Papua, berbeda dengan format stand-up comedy pada umumnya, dan menjadi salah satu bentuk komunikasi yang digunakan untuk menyampaikan kritik sosial dan pengalaman hidup masyarakat adat.

Kondisi Sosial dan Lingkungan di Papua yang Tragis

Dua pemuda adat Papua, Engel dan Soleman, mengenakan pakaian adat suku mereka saat tampil. Mereka menyampaikan cerita-cerita melalui MOP, yang menjadi medium untuk berbagi pengalaman tentang kondisi sosial dan lingkungan di Papua. 

“Hari ini, teman-teman Papua kesini untuk cerita melalui MOP, bahwa hidup mereka hari ini tidak baik-baik saja,” tutur Engel.

Engel menyebut isu utama yang kini terjadi di Papua adalah deforestasi dan perampasan lahan adat. Hari-hari ini, kata Engel, hutan-hutan di Papua diambang kerusakan gegara ekspansi industri,

“Hutan-hutan kami hari ini diambang perampasan, pelakunya menggunakan alat-alat berat seperti ekskavator,” kata dia.

Mereka juga menyoroti agenda pemerintah kini yang membuka lahan dua juta hektare di Merauke dilakukan dengan mengatasnamakan masyarakat. Padahal, kata mereka, tanah masyarakat adat Papua justru menjadi korban.

Selain persoalan deforestasi, para pembicara juga mengangkat masalah korupsi dana desa yang berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat adat. Soleman menuturkan, dana desa yang cair selalu raup untuk hal-hal yang bukan peruntukannya.

“Dana cair jadi dong dua langsung pergi ke bank. Jadi langsung benda haram bilang, Bapak ini uang su ada nih. Uang 80 juta ini tuh habis semua gara-gara minuman,” kata Soleman.

Dalam penampilan mereka, para pemuda adat Papua juga menekankan adanya ketidakadilan dalam pengelolaan dana desa. Soleman menegaskan bahwa meskipun dana desa telah mengucur, penyelewengan kerap kali dilakukan.

“Hari-hari ini banyak sekali yang memang sudah dapet uang-uang dana tiap dana desa dari pemerintah dan juga mereka tidak menyalurkannya dengan baik,” kata Soleman, menyuarakan keresahan masyarakat adat terkait penyalahgunaan dana bantuan.

Selain melalui cerita MOP, para pemuda adat Papua menegaskan pesan mereka secara visual. Badan mereka dicoreti dengan tulisan seperti “Sahkan RUU,” “Papua bukan tanah kosong,” dan “Sahkan RUU Masyarakat Adat,” serta diwarnai dengan berbagai corak. Pesan-pesan tersebut menjadi tuntutan agar pemerintah segera mengesahkan Undang-Undang Masyarakat Adat agar ada jaminan perlindungan dan hak kelangsungan hidup.

Dalam kesempatan tersebut, Engel menyampaikan permintaan agar masyarakat di luar Papua, khususnya peserta acara MIWF dapat mendukung perjuangan masyarakat adat Papua. “Kami ingin kegiatan disini sekaligus dengan kami mengkampanyekan isu-isu di Papua, kami minta bantuan kepada teman-teman yang berada di kota Makassar,” ujar dia.

Ia berharap, dengan penuturan melalui MOP dan kampanye Body Painting, para pengunjung MIWF membantu mereka menyuarakannya di berbagai saluran media informasi. Ia menyampaikan permintaan itu lantara suara mereka kerap tak didengarkan oleh pemangku kebijakan.

“Karena hari ini kita semua tidak baik-baik saja, perampasan itu mengatasnamakan kita sebagai rakyat tapi mengorbankan tanah masyarakat adat di Papua,” kata Engel.

MOP itu ditutup dengan kalimat negasi dari Soleman. “Papua bukan tanah kosong,” kata dia, menegaskan bahwa tanah mereka memiliki sejarah, budaya, dan hak yang harus diakui dan dilindungi. Ia juga menyebut bahwa Papua adalah rumah bagi hutan adat dan budaya yang kaya, yang kini terancam oleh ekspansi industri dan pembiaran negara. (Rls)

Editor: Agus Umar Dani

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca juga: