
Papua – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Papua mengungkapkan terdapat empat izin usaha pertambangan (IUP) nikel yang telah dikeluarkan di wilayah Papua. Tiga diantaranya berada di pulau-pulau kecil kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya.
“Sampai saat ini ada 4 Izin Usaha Pertambangan Nikel yang dikeluarkan di wilayah Papua, 3 di antaranya berlokasi di pulau-pulau kecil di kawasan Raja Ampat yakni, Pulau Gag, Pulau Kawe dan Pulau Manuran,” demikian siaran pers WALHI Papua dilansir dari laman resminya, Kamis, 5 Juni 2025.
Mereka mengecam pemberian izin tambang tersebut sebab bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
“Pertambangan pada pulau-pulau kecil (dengan luasan lebih kecil atau sama dengan 2000 Km2) yang secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya dengan jelas dilarang untuk dilakukan, sebagaimana yang tertera dalam Pasal 35 huruf K UU 27 Tahun 2007 jo UU 1 Tahun 2014,” kata mereka.
Terlebih, papar WALHI, gugusan pulau-pulau kecil di Raja Ampat menyimpan kekayaan keanekaragaman hayati yang luar biasa. Kawasan ini menjadi habitat bagi lebih dari 1.600 spesies ikan, 75 persen spesies karang yang dikenal dunia, enam dari tujuh jenis penyu terancam punah, serta 17 spesies mamalia laut yang telah teridentifikasi.
“Jika wilayah konservasi dan surga terumbu karang Raja Ampat kehilangan daya tarik utamanya yakni kelestarian pulau-pulau, terumbu karang, dan keanekaragaman hayati-nya disana, untuk kepentingan siapa sesungguhnya mempromosikan pertambangan nikel di wilayah ini?,” sindir mereka.
WALHI Papua menyatakan Pulau Kawe yang luasnya tak lebih dari 50 kilometer persegi terancam hilang dalam kurun waktu 15 tahun ke depan. Mereka juga menyoroti aktivitas pertambangan nikel yang dijalankan di pulau yang berdekatan dengan kawasan Suaka Alam Perairan Waigeo Sebelah Barat.
Sementara, di Pulau Gag, warga kini takut berenang di laut karena khawatir terkena penyakit kulit. Selain itu, wilayah tersebut telah dibangun dermaga untuk bongkar muat material nikel dan ikan-ikan yang dulu mudah dijumpai kini tak lagi terlihat.
“Selain kerusakan dasar laut, pada saat angin kencang dari selatan mulai bulan Juni hingga September, debu material nikel beterbangan ke arah permukiman penduduk. Hujan debu menyebabkan warga dengan mudah terserang batuk,” ujar mereka.
Bupati Raja Ampat, Orideko Burdam mengeluhkan kewenangan pemberian dan pencabutan izin tambang nikel yang sepenuhnya berada di pemerintah pusat. Akibatnya, pemerintah daerah kesulitan melakukan intervensi terhadap aktivitas tambang yang diduga merusak hutan dan mencemari ekosistem.
“97 persen Raja Ampat adalah daerah konservasi, sehingga ketika terjadi persoalan pencemaran lingkungan oleh aktivitas tambang, kami tidak bisa berbuat apa-apa, karena kewenangan kami terbatas,” kata Orideko di Sorong, Sabtu (31/5).
Selain itu, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Raja Ampat telah melakukan investigasi di Pulau Manyaifun dan Batang Pele. Investigasi itu dilakukan melalui penjaringan aspirasi warga setempat terkait dugaan aktivitas tambang nikel yang merusak ekosistem alam di wilayah tersebut.
Ketua DPRD Raja Ampat, Mohammad Taufik Sarasa menjelaskan bahwa investigasi ini merupakan tindak lanjut dari aksi demonstrasi masyarakat Raja Ampat. Dalam aksi itu, warga mendesak pencabutan izin tambang nikel yang beroperasi di wilayah mereka.
“Investigasi ini melalui pertemuan dengan masyarakat setempat untuk menjaring aspirasi dan memahami kondisi aktual di lapangan,” jelas Taufik.
Taufik mengatakan masyarakat setempat khawatir aktivitas tambang nikel yang diduga merusak ekosistem alam yang dianggap membahayakan kelangsungan hidup mereka.
“Mereka meminta agar DPRD Raja Ampat dapat membantu menyelesaikan masalah ini dan memastikan bahwa aktivitas tambang dengan bertanggung jawab dan berkelanjutan,” ujar dia.
Terpisah, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kehutanan dan Pertanahan Provinsi Papua Barat Daya Julian Kelly Kambu di Sorong, Senin (19/5), menyampaikan ada dua perusahaan yang mengelola tambang nikel di Raja Ampat, yakni PT GAG Nikel dan PT Kawei Sejahtera Mining.
Dua perusahaan ini bergerak di tambang nikel yang telah mengantongi izin berusaha sejak daerah tersebut masih menjadi satu dengan Provinsi Papua Barat.
Selain dua tambang nikel yang berizin, menurut dia, ada beberapa perusahaan yang beroperasi di Raja Ampat telah memiliki IUP sebelum Papua Barat Daya ada.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia resmi menghentikan sementara izin usaha pertambangan (IUP) di wilayah operasi PT Gag Nikel, Pulau Gag, Raja Ampat, Papua. Penghentian ini mulai berlaku hari ini, Kamis (5/6/2025).
“Sementara kita hentikan operasinya mulai detik ini saya bicara,” kata Bahlil dalam konferensi pers di Kementerian ESDM.
Dia menjelaskan, pihaknya akan meninjau langsung ke lapangan menyusul ramainya isu kerusakan lingkungan yang ditimbulkan PT Gag Nikel. Terlebih, wilayah konsesi PT Gag Nikel beroperasi di Pulau Gag yang berada di Kepulauan Raja Ampat, yang merupakan destinasi wisata unggulan nasional.
“Saya akan mengecek langsung ke lokasi. Supaya apa? Saya ingin ada objektif agar tak ada simpang siur,” ujar dia.
Namun, kata dia, penghentian operasi tambang nikel PT Gag Nikel tak berlangsung lama alias sementara. Keputusan selanjutnya akan diambil setelah pihaknya meninjau langsung ke lokasi.
“Melarang itu bukan seterusnya, ya. Untuk sementara kegiatan produksinya disetop dulu sampai menunggu hasil peninjauan verifikasi dari tim saya,” beber Bahlil.
Bahlil mengklaim ada keterlibatan pihak asing dalam proyek hilirisasi yang sedang didorong pemerintah, termasuk di sektor nikel. Namun, ia tak merinci siapa pihak asing yang ia sebut tidak suka dengan proyek hilirisasi pemerintah.
“Di saat yang sama, ada pihak-pihak asing yang tidak senang atau kurang berkenan dengan proyek hilirisasi ini,” ucap dia.
Diketahui, PT Gag Nikel merupakan perusahaan tambang pemegang Kontrak Karya generasi VII yang ditandatangani Presiden Soeharto pada 19 Januari 1998. Awalnya, perusahaan ini merupakan hasil kerja sama antara BHP Billiton-Asia Pacific Nickel asal Australia (75 persen) dan PT ANTAM (25 persen).
Pada 2008, BHP Billiton mundur dari proyek ini dan PT ANTAM mengakuisisi 100 persen saham Asia Pacific Nickel. Sejak itu, PT ANTAM menguasai penuh PT Gag Nikel, meskipun Asia Pacific Nickel masih terdaftar di Australia.
Konsesi PT Gag Nikel berada di Pulau Gag, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, dengan luas total 13.136 hektare. Area tersebut mencakup 6.060 hektare daratan dan 7.076 hektare lautan.
Sedangkan, luas daratan Pulau Gag hanya 6.500 hektare, hampir seluruhnya termasuk dalam konsesi PT Gag Nikel. Dengan demikian, perusahaan menguasai hampir seluruh pulau beserta kawasan perairannya.
PT Gag Nikel termasuk salah satu dari 13 perusahaan tambang yang mendapat izin khusus melakukan aktivitas pertambangan terbuka di kawasan Hutan Lindung berdasarkan Keppres No. 41 tahun 2004. Keputusan Presiden Megawati itu merupakan pengecualian terhadap larangan pertambangan terbuka di hutan lindung yang diatur dalam UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
Editor: (AUD)